PPKn

Pertanyaan

solusi dari permasalahan yang dihadapi lembaga yudikatif

1 Jawaban

  • Badan Yudikatif berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya 3 badan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
    Mahkamah Agung, sesuai Pasal 24 A UUD 1945, memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
    Mahkamah Konstitusi, sesuai Pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
    Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
    Tidak jauh beda dengan dua lembaga yang sudah di bahas sebelumnya, lembaga yudikatif sebagai lembaga penegak hukum pun tak terlepas dari godaan korupsi. Sudah sangat banyak contoh kasus yang terjadi yang melibatkan hakim-hakim nakal di dalam jajaran yudikathief yang menjadi sorotan publik. Seperti penangkapan hakim ad hoc di Bandung, Imas Dianasari, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa korupsi di lembaga peradilan sudah sangat sistemik. Artinya, orang sebersih apapun akan tergoda memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Menurut pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, peristiwa hakim ad hoc tertangkap telah menghapuskan asumsi bahwa hakim ad hoc tidak selamanya bersih. Karena itu dibutuhkan pengawasan yang ketat dari masyarakat terutama sipil dan pers, karena Komisi Yudisial belum bisa diharapkan maksimal dalam menjalankan fungsinya.
    Kasus korupsi di jajaran yudikathief yang lain ialah kasus yang menimpa hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar. KPK menetapkan Syarifuddin sebagai tersangka dugaan suap untuk memuluskan perkara penjualan aset perusahaan garmen PT Skycamping Indonesia (SCI), yang dinyatakan pailit. Aset tersebut berupa dua bidang tanah di Bekasi senilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta, Hendrik D Sirait, berharap Hakim Syarifuddin diusut juga harta kekayaannya. Karena ia tercatat telah membebaskan 39 koruptor sehingga mustahil memiliki rekening yang normal. “Kami berharap Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan bisa mengungkap aliran dananya,” kata dia. Hendrik juga menyesalkan penilaian Komisi Yudisial terhadap Hakim Syarifuddin. Rekam jejak pembebasan para koruptor tidak menjadi pengawasan prioritas. “Komisi Yudisial saat ini baru pencitraan, belum sampai ke hakim-hakim yang nakal,” dia menjelaskan.
    Dengan tertangkapnya hakim-hakim nakal diatas, maka itu menunjukkan betapa kekuasaan sekecil apapun cenderung korup. Korupsi baik di parlemen, pemerintahan maupun di peradilan mustahil diruntuhkan. Tidak salah orang menyebut republik yang kita cintai ini sebagai “Republik Kleptokrasi”, karena memang maling ada dimana-mana, mulai dari Legislathief, Eksekuthief, dan Yudikathief.

Pertanyaan Lainnya